Kamis, 15 Februari 2018

BELAJAR ANTI POPULARITAS DARI UMBU


Umbu Landu Paranggi, lahir di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, pada tanggal 10 Agustus 1943. Seorang seniman berkebangsaan Indonesia yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.


Petualangan Umbu dimulai sejak SMP, begitu lulus langsung ke pulau Jawa dengan harapan bisa masuk Taman Siswa. Dengan alasan beliau sangat terkesan dengan model pengajaran Ki Hajar Dewantara yang diterapkan di Taman Siswa. Akan tetapi, perjalanan kapal laut mengalami keterlambatan, sehingga sampai di Jogja pendaftaran di Taman Siswa sudah ditutup. Akhirnya ia mendaftar di SMA BOPKRI I, setelah lulus, ia melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik di Universitas Gadjah Mada Jurusan Sosiatri dan di Universitas Janabadra Jurusan Hukum. Tetapi kuliahnya di 2 universitas itu tidak dilanjutkan. Gagal juga memenuhi harapan orang tuanya untuk menggantikan kedudukan di kampung halamannya. Namun bagi seorang Umbu ”tidak peduli segala gelar, hidup adalah puisi.” 


Pada tahun 1970-an Umbu membentuk Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas penyair, sastrawan, seniman yang berpusat di Malioboro Yogyakarta. PSK, kemudian dikenal sebagai salah satu komunitas sastra yang sangat mempengaruhi perjalanan sastrawan-sastrawan besar di Indonesia.

Menurut catatan Ragil Suwarno Pragolopati, anggota PSK lebih kurang 1.555 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebab yang dianggap anggota PSK bukan yang hanya tinggal di Yogyakarta saja, tetapi yang mengirim puisi ke media ”Pelopor Yogya” juga dianggap anggota PSK. Dirinya memberi bimbingan bagi pengarang muda, terutama dalam bidang puisi. Dalam membimbing anak buahnya penuh dengan ketelitian dan kesabaran, selain itu Umbu Landu Paranggi siang-malam ada di Malioboro dan mengetahui dengan persis sudut-sudut Malioboro sehingga oleh anak-anak asuhnya dijuluki ”Presiden Malioboro” .

Walaupun dikenal sebagai "Presiden Malioboro", ia sendiri seperti menjauh dari popularitas dan sorotan publik. Ia sering menggelandang sambil membawa kantung plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi koleksinya. Orang-orang menyebutnya "pohon rindang" yang menaungi bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tetapi ia sendiri menyebut dirinya sebagai "pupuk" saja. Umbu pernah dipercaya mengasuh rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogyakarta.

Dalam perjalanannya, Umbu tak pernah puas. Namun suatu saat ia menghilang. Alasannya ia hendak menengok padang rumput savanna di kampungnya , Sumba. Seketika Jogja kehilangan denyut nadi kehidupan sastra yang tadi bergairah. Mungkin ia merasa sudah cukup meninggalkan 1000 penulis puisi dengan diantaranya 300 yang berbakat.


Hari tuanya dihabiskan tinggal di Bali, sembari mengasuh rubrik Apresiasi di Bali Post. Ia memilih menetap di Bali. Ia menjadi brahmana Umbu disana, mendorong pertumbuhan sastra di pulau dewata. Ia tetap menggelandang, tidur beratap langit dan menyimpan uangnya di dalam tanah.

Hingga kini namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa. Umbu merupakan penyair sekaligus guru bagi para penyair muda pada zamannya, seperti : Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Linus Suryadi AG, dan lain-lain.

Ikuti juga informasi menarik lainnya seputar dunia Psikologi :
Instagram : @catatan_psikologi
> Fanspage : Catatan Psikologi
> Line : @seh0879x

0 komentar:

Posting Komentar