BELAJAR ANTI POPULARITAS DARI UMBU
Umbu
Landu Paranggi, lahir di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, pada tanggal 10
Agustus 1943. Seorang seniman berkebangsaan Indonesia yang sering disebut
sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.
Petualangan
Umbu dimulai sejak SMP, begitu lulus langsung ke pulau Jawa dengan harapan bisa
masuk Taman Siswa. Dengan alasan beliau sangat terkesan dengan model pengajaran
Ki Hajar Dewantara yang diterapkan di Taman Siswa. Akan tetapi, perjalanan
kapal laut mengalami keterlambatan, sehingga sampai di Jogja pendaftaran di
Taman Siswa sudah ditutup. Akhirnya ia mendaftar di SMA BOPKRI I, setelah lulus,
ia melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik di Universitas Gadjah Mada Jurusan
Sosiatri dan di Universitas Janabadra Jurusan Hukum. Tetapi kuliahnya di 2
universitas itu tidak dilanjutkan. Gagal juga memenuhi harapan orang tuanya
untuk menggantikan kedudukan di kampung halamannya. Namun bagi seorang Umbu
”tidak peduli segala gelar, hidup adalah puisi.”
Pada
tahun 1970-an Umbu membentuk Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas
penyair, sastrawan, seniman yang berpusat di Malioboro Yogyakarta. PSK, kemudian
dikenal sebagai salah satu komunitas sastra yang sangat mempengaruhi perjalanan
sastrawan-sastrawan besar di Indonesia.
Menurut
catatan Ragil Suwarno Pragolopati, anggota PSK lebih kurang 1.555 orang yang
tersebar di seluruh Indonesia. Sebab yang dianggap anggota PSK bukan yang hanya
tinggal di Yogyakarta saja, tetapi yang mengirim puisi ke media ”Pelopor Yogya”
juga dianggap anggota PSK. Dirinya memberi bimbingan bagi pengarang muda,
terutama dalam bidang puisi. Dalam membimbing anak buahnya penuh dengan
ketelitian dan kesabaran, selain itu Umbu Landu Paranggi siang-malam ada di
Malioboro dan mengetahui dengan persis sudut-sudut Malioboro sehingga oleh
anak-anak asuhnya dijuluki ”Presiden Malioboro” .
Walaupun
dikenal sebagai "Presiden Malioboro", ia sendiri seperti menjauh dari
popularitas dan sorotan publik. Ia sering menggelandang sambil membawa kantung
plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi
koleksinya. Orang-orang menyebutnya "pohon rindang" yang menaungi
bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tetapi ia sendiri menyebut
dirinya sebagai "pupuk" saja. Umbu pernah dipercaya mengasuh rubrik
puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogyakarta.
Dalam
perjalanannya, Umbu tak pernah puas. Namun suatu saat ia menghilang. Alasannya
ia hendak menengok padang rumput savanna di kampungnya , Sumba. Seketika Jogja
kehilangan denyut nadi kehidupan sastra yang tadi bergairah. Mungkin ia merasa
sudah cukup meninggalkan 1000 penulis puisi dengan diantaranya 300 yang
berbakat.
Hari
tuanya dihabiskan tinggal di Bali, sembari mengasuh rubrik Apresiasi di Bali
Post. Ia memilih menetap di Bali. Ia menjadi brahmana Umbu disana, mendorong
pertumbuhan sastra di pulau dewata. Ia tetap menggelandang, tidur beratap
langit dan menyimpan uangnya di dalam tanah.
Hingga
kini namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang
dipublikasikan di berbagai media massa. Umbu merupakan penyair sekaligus guru
bagi para penyair muda pada zamannya, seperti : Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Linus
Suryadi AG, dan lain-lain.
Ikuti
juga informasi menarik lainnya seputar dunia Psikologi :
> Instagram : @catatan_psikologi
> Fanspage : Catatan Psikologi
> Line :
@seh0879x
0 komentar:
Posting Komentar